Hutang tetaplah hutang sekalipun dipakai untuk mendongkrak kemaslahatan rakyat atau bahkan untuk dalih paling degil demi mengentaskan kemiskinan. Sebagai negara yang didapuk oleh World Bank sebagai pengutang (borrower country) yang sangat baik, Indonesia bakal menerima sejumlah pinjaman untuk mega-proyek yang terbilang sangat jor-joran. Setelah direncanakan semenjak tahun 2015 dan termaktub dalam dokumen “Country Partnership Framework (CPF) for the Republic of Indonesia, for the period FY16-FY20”, akhirnya pada tanggal 18 Juli 2018, World Bank resmi mengeluarkan dokumen persetujuan untuk pemberian pinjaman bagi pemerintah Indonesia sebesar 200 Juta Dolar AS atau setara dengan 2,8 Triliun Rupiah. Sejumlah gelontoran hutang yang disetujui itu rencananya bakal dialokasikan untuk membiayai program Reforma Agraria besutan rezim Jokowi-JK.
Dalih pemerintah Indonesia untuk melaksanakan Reforma Agraria yang dipandu hutang dari World Bank itu masih jadi ceruk keruh hingga kini. Konon seperti dimaksud dalam Project Appraisal Document (PAD) dari World Bank, program itu ditempuh untuk memperjelas hak-hak atas tanah dan penggunaannya secara aktual pada tingkat desa di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran implementasi proyek. Lebih jauh lagi World Bank mengaku bahwa lewat perencanaan tata ruang dan administrasi pertanahan yang baik, diharapkan dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan (enhancing prosperity).
Reforma Agraria besutan rezim Jokowi-JK dan World Bank ini disebut juga bakal meningkatkan produktivitas petani kecil dan menjadi solusi bagi kemiskinan di pedesaan.
Sertifikasi dan legalisasi aset atas tanah menjadi komponen utama dalam program Reforma Agraria versi Jokowi-JK ini. Bahkan komponen distribusi tanah pun pada akhirnya bermuara sebagai proses sertifikasi tanah-tanah juga yang telah digarap serta dikuasai. Upaya itu jelas bakal menjadikan tanah menjadi barang yang mudah dialihkan (transferable), mendorong penciptaan pasar tanah yang lebih masif, dan tentu saja semakin banyak juga kemungkinan sertifikat tanah yang menjadi jaminan di kantung perbankan. Alhasil bakal semakin banyak tanah yang dikuasai oleh masyarakat miskin yang telah tersertifikasi, namun semakin tinggi pula kemungkinan beralihnya sertifikat itu ke pihak bank yang sebelumnya dijadikan jaminan.
Reforma Agraria Jokowi-JK yang memberi penekanan besar pada sertifikasi tanah dan legalisasi aset yang sejalan dengan strategi World Bank, tak hanya digadang bakal menciptakan pasar tanah yang efektif. Kemungkinan lain adalah bakal terbukanya jalan lapang untuk kemudahan investasi swasta sebesar-besarnya. Bukan hanya itu, selain tak lagi menyasar penguatan hak atas tanah untuk masyarakat kecil dan kaum tani miskin, Reforma Agraria yang disokong pinjaman World Bank itu bakal menjadikan tanah sebagai komoditas semata yang mampu menggerakkan perekonomian perbankan. Janji “membagikan” tanah seluas total 9 juta hektar bisa jadi memang adalah kumandang peringatan bencana nasional yang datang lebih dini.
Sebagai kelanjutan ihwal Reforma Agraria gadungan itu, Bandung terpilih menjadi tuan rumah Global Land Forum (GLF) kedelapan yang berlangsung pada 22-27 September 2018. Dalam forum dua tahunan ini—namun selisih tiga tahun dari GLF di Dakkar ke GLF Bandung—semua delegasi duduk bersama dalam satu arena yang mengurun-rembukkan pembicaraan seputar kepastian hukum hak atas tanah, konflik agraria, pencaplokan tanah (land gabbing), reforma agraria, kesetaraan gender, hingga hak masyarakat adat. GLF sebelumnya telah dihelat di 7 negara antara lain: 1) GLF 2003 di Roma, Italia, 2) GLF 2005 di Santa Cruz, AS, 3) GLF 2007 di Entebbe, Uganda, 4) GLF 2009 di Kathmandu, Nepal, 5) GLF 2011 di Tirana, Albania, 6) GLF 2013 di Antigua, Antiqua and Barbuda, dan 7) GLF 2015 di Dakkar, Senegal.
GLF kedelapan di Bandung mengusung tema “Bersatu untuk Hak Atas Tanah, Keadilan dan Perdamaian”. Anggota-anggota koalisi berkumpul untuk menyusun dan menyepakati kerangka-kerangka kerjanya. International Land Coalition (ILC) bersama reng-rengan yang menjadi panitia helatan menyebutkan bahwa nilai historis yang dimiliki kota Bandung bakal memberi suntikan positif untuk keberlangsungan acara. Mereka hendak menapak-tilasi Bandung era Konferensi Asia-Afrika (KAA) pertama kali diselenggarakan. Tentu saja seolah mengusung semangat serupa Negara-negara Asia dan Afrika dalam upaya memerdekakan bangsanya sendiri.
Dalam rilis ILC sendiri, GLF hendak menuangkan prinsip people-centered land governance ke dalam situasi dan konteks pertanahan global dewasa ini, sebagai jawaban atas ketidakadilan agraria yang masih terjadi di banyak tempat. Masih disangsikan bahwa hasil-hasil GLF bakal mempengaruhi kebijakan-kebijakan agraria di suatu negara. GLF bukanlah forum resmi antar delegasi negara yang sifatnya mengikat. Namun tetap saja rumusan-rumusan dari GLF besar kemungkinan dapat dijadikan bahan penyusunan kebijakan bagi sejumlah lembaga internasional yang juga menjadi bagian dari ILC, termasuk World Bank, Food and Agriculture Organisation (FAO), dan International Fund for Agricultural Development (IFAD).
Berselang dua pekan dari GLF di Bandung, dihelat sebuah pertemuan tahunan kongsi bisnis kawakan antara International Monetary Fund (IMF) dan World Bank yang bertajuk Annual Meetings IMF-WB (AM IMF-WB) pada 8-14 Oktober 2018, di Nusa Dua, Bali. Pertemuan terbesar di dunia dalam bidang ekonomi dan keuangan itu dan digadang terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Para delegasi yang hadir antara lain adalah gubernur bank sentral, menteri keuangan dari 189 negara yang menjadi anggota, pelaku bisnis, akademisi, dan ekonom sektor privat akan hadir dan terlibat aktif dalam sejumlah agenda: forum investasi, FGD, Workshop dan sebagainya.
Pada Annual Meetings IMF-WB 2018, terdapat 5 poin krusial yang dibahas untuk merespon perkembangan ekonomi global. Poin-poin itu antara lain ihwal penguatan International Monetary System (IMS), ekonomi digital, kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur, penguatan ekonomi dan keuangan syariah, serta sektor fiskal. Berbagai pembahasan itu tidak terlepas dari pilar utama orientasi kebijakan duet kongsi pengerat antara IMF dan World Bank yang bertumpu pada privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Sejarah telah membuktikan bahwa negara yang mengikuti tuntutan IMF dan World Bank, semakin terseret ke dalam ngarai kapitalisme global dengan tingkat kerentanan dosis tinggi.
Demi melumasi gardan perlawanan yang bisa saja berkarat seketika. Juga demi menaruh sikap di hadapan GLF, Annual Meetings IMF-WB, Reforma Agraria gadungan, serta segala karut-marut kemungkinan kebijakan yang bakal lahir darinya; kali ini Metaruang kembali merilis mixtape seri kedua. Seperti halnya seri debut “Against Aeropolis”, di mixtape kali ini pun tentu saja akan selalu ada harapan melangit dari setiap nomor yang kami susun di dalamnya. Jika lembaga keuangan internasional tak henti merangkul korporasi untuk berinvestasi hingga terus mengondisikan iklim investasi yang ramah terhadapnya, maka kami pun berharap terus bisa menjalin koalisi lebih luas dengan kawanan—bahkan dengan halilintar sekalipun—lewat medium auditif ini.
Di dalam magasin mixtape ini terdapat tujuh nomor dari tujuh band. Dari yang nir-lirik sampai rapalan bar-bar kanon; dari yang ngepop sampai hardcore eksperimental kekinian; dari gaek punk-rock sampai pengusung melodic hardcore pembangkang. Sebelum kami mengerkah omong-kosong dan kibul-kibul lebih lahap tentang Reforma Agraria versi Jokowi-JK dan World Bank, sebelum hak suara para hipster setanah air digiring menuju balot politik elektoral, dan juga sebelum skema-skema lain kongsi bisnis IMF dan World Bank berjalan, kami persembahkan mixtape seri kedua ini kepada kawan-kawan. Harapan belum saatnya untuk meranggas. Piston resistensi mesti terus dipompa lebih kencang. Selamat mendengarkan.
Tamija - Not the Only Way
Apakah memang perlu menjalankan Reforma Agraria namun dipandu dengan hutang pemberian World Bank? Kendati Indonesia diklaim sebagai negara pengutang (borrower country) yang sangat baik alias peminjam yang selalu rajin dan berusaha tepat waktu dalam membayar kembali pinjamannya (?), tetapi urgensi seperti apa yang menghendaki Reforma Agraria dengan dibiayai hutang?
Nawacita Jokowi menjanjikan redistribusi 9 juta hektar tanah. Hal itu kemudian termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang juga bagian dari ILC menyebut bahwa bagi-bagi sertifikat tanah via Reforma Agraria Jokowi dinilai sudah tepat; program Reforma Agraria sejati menempatkan sertifikasi sebagai tahap terakhir, setelah survei nilai tanah dan pembagian yang adil. Mereka berkilah ada secercah harapan bahwa sertifikasi tanah akan menekan kasus penyerobotan dan sengketa lahan yang kerap terjadi akibat ketidakpastian hak milik. Lebih jauh lagi KPA menyebut sertifikasi tanah sekurang-kurangnya mampu memberikan dasar hukum untuk kompensasi. Bahkan dalil-dalil serta bukti ilmiah yang signifikan bahwa sertifikasi atau land titling mampu memperkuat jaminan kepemilikan pun turut mereka kemukakan.
Apa faedahnya membagi-bagi sertifikat tanah di Indonesia? Ditelisik dari tujuan-tujuan proyek secara menyeluruh maupun dari komponen yang disasar Kebijakan Satu Peta (One Map Policy), tentu bakal memperluas pendaftaran dan pengesahan secara legal tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan, komunitas, maupun konsesi-konsesi untuk investasi. Tentu saja hal itu pun bertentangan dengan apa yang termaktub dalam UUPA 1960. Kita sudah diwanti-wanti sejak jauh hari oleh dokumen CPF World Bank tahun 2015, bahwa yang menjadi induk dari rencana pengadaan proyek hutang untuk mempercepat Reforma Agraria adalah untuk mendongkrak sektor swasta: investasi, iklim bisnis, dan berfungsinya pasar.
Nomor pembuka dari mixtape kali ini dibuka oleh single lepas “Not the Only Way” milik Tamija. Lagu instrumental dari band post-rock Bandung yang berpersonilkan mahasiswa-mahasiswa arsitektur Universitas Parahyangan ini, kiranya layak sebagai nomor penggugat Reforma Agraria abal-abal rezim Jokowi yang dipandu hutang dari World Bank. Komposisi lagu dengan kadensi enerjik ini seolah mengejawantahkan secara telak bahwa upaya yang ditempuh rezim via Reforma Agraria abal-abalnya adalah jelas bukan untuk kepentingan rakyat dan petani miskin.
Tanpa perlu berkubang-dior ihwal spekulasi kepentingan politik jelang hajatan elektoral 2019, jelas sudah bahwa sertifikasi—terutama untuk lahan-lahan kecil—mempercepat proses jual-beli dan pembebasan tanah. Hal ini sejalan dengan skema pembangunan yang mengutamakan kelancaran investasi, salah satunya dengan membabat habis kendala-kendala hukum. Kepastian investasi bisa lebih mudah dijamin ketika akumulasi bisa dilakukan dalam kerangka hukum yang akomodatif, tanpa perlu pencaplokan tanah yang relatif lebih lambat dan sarat gugatan. Menelingsut retorika yang digunakan pemerintah, sukar kiranya bertaruh bahwa sertifikasi tanah ini bertujuan lebih daripada melancarkan akuisisi.
Kelanjutan episode sertifikasi tanah ini menunjukkan bahwa rezim memang piawai membingkai kebijakan neoliberal dalam bahasa populis. Bagaimana bisa mengantungi kekuatan hukum apabila yang mempunyai sertifikat hak milik pun pada akhirnya tetap disikat atas nama pembangunan yang menopang kepentingan umum, seperti halnya di Kulon Progo dan Majalengka. Tidak ada cara lain untuk melihat ini terkecuali sebagai ekspansi peran pasar. Kesemuanya dirancang untuk mengurangi kadar kehadiran rezim dalam suatu gelombang mega-swastanisasi. Dan nomor pembuka milik Tamjia di mixtape ini bukan hanya sebagai nomor penggugat. Ia melainkan juga adalah peringatan kawanan untuk tak lelah mengorganisir sesama.
No Trigger - What We Became
GLF serta Annual Meetings IMF dan World Bank sekalipun hadir dengan tedeng aling-aling untuk merumuskan kebijakan yang pro-rakyat, tetap saja tak lebih dari kenduri tahunan para elit lembaga keuangan dan kolega-koleganya. Serikat tani, buruh, nelayan, perempuan, dan masyarakat adat, boleh saja dilibatkan dalam gelaran forumnya untuk duduk bersama para delegasi undangan dari beberapa negara atau tak luput juga para anggota kongsi. Namun apakah kehadiran mereka—lebih jauh lagi, suara mereka—dalam forum itu memang punya peran krusial dalam rembukan serta menentukan kebijakan final? Sayangnya hal itu masih akan tetap jadi akanan.
Seumpama yang termaktub dalam rilis ARAP ihwal mengapa GLF mesti ditolak: bagi para peserta yang memosisikan dirinya bagian dari gerakan sosial, mungkin forum setara GLF berguna untuk medan berbagi cerita, pengalaman, serta analisa. Kendati sejumlah organisasi masyarakat sipil yang telah terlibat sejak pertama kali GLF diselenggarakan, beragam konflik agraria, penggusuran dan perampasan tanah rakyat terus bertambah. Mulai dari atas nama.kepentingan bisnis, modal, serta korporasi. Di lain pojokan, justru banyak organisasi tani semakin melemah.
Bisa dibilang bahwa itikad GLF dalam memperkuat gerakan sosial untuk reforma agraria yang sesungguhnya adalah kelakar mentah. GLF hanya arena kongkow anggota ILC yang mayoritas datang dari luar negeri, untuk berbincang-bincang, berdiskusi, serta sebagian besar hendak melakukan rapat. Belum termasuk acara pelesiran ke Indonesia dan Kota Bandung, minum-minum kopi dan makan gratis, menikmati penginapan kelas wahid, juga aneka hiburan trivial yang barangkali telah disiapkan oleh panitia penyelenggara. Nyaris dari satu GLF ke GLF berikutnya, dapat ditemukan orang-orang yang sama, yang mendiskusikan hal-hal yang sama secara berulang-ulang.
Nomor ketiga diisi oleh “What We Became” dari No Trigger, unit punk-rock asal Massachussets. Nomor yang diambil dari album Extinction in Stereo (New School Records, 2007) ini begitu terampil menyenggol perkara di atas. Refrain yang berbunyi “sorry sir, this is an exclusive club and it always has been / the same struggle ringing in our ears / as civil’s definition blurs across the page” cukup untuk memborong semua dalih omong kosong panitia penyelenggara GLF maupun Annual Meetings IMF dan World Bank. Tidak perlu sungkan dan sangsi untuk mengemukakan bahwa forum gelaran itu memang ajang perayaan pemiskinan yang bakal datang dengan dibiayai negara lewat anggaran terselubung. Masih mau menampik?
Run the Jewels - A Report to the Shareholders / Kill Your Masters
Nomor keempat datang dari Run the Jewels lewat salah satu nomor di album RTJ3 (Run the Jewels Inc., 2016) dengan judul “A Report to the Shareholders / Kill Your Masters”. Avant-shout di nomor keempat mixtape ini punya makna berlapis. “Beware of horses, I mean a horse is a horse of course. But who rides is important.” Anda bisa membayangkan bahwa Killer Mike dan El-P tengah ada di sebuah turnamen pacuan kuda dan mereka saling bertaruh siapa yang menjadi kampiunnya. Namun organisasi citraan itu juga menyimpan impuls satire yang mungkin bisa pula meneroka ihwal para “penunggang” dalam turnamen gelontoran hutang World Bank. Nomor ini nyaris seperti jargon Counterpunch Media: langsung tunjuk hidung!
Di balik skema yang dijalankan oleh para bidak ini, tentu ada pihak yang punya peran sentral sebagai “penggulir permainan”. Kita sebut saja ILC. World Bank menjadi salah satu dari 21 lembaga pendirinya. Selain itu beberapa lembaga donor yang berkedudukan di AS dan Eropa, lembaga-lembaga yang mewakili Komisi Eropa dan Uni Eropa, beberapa lembaga di bawah naungan PBB—seperti Food and Agriculture Organization (FAO), World Food Program (WFP) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD)—serta tiga lembaga yang merupakan organisasi masyarakat sipil (ANGOC, FAVDO dan ALOP) dan satu asosiasi produser pertanian (IFAP) ada dalam satu tubuh yang sama.
Sebagian besar lembaga-lembaga itu, baik yang merupakan badan PBB atau bukan—seperti GTLN (Global Land Tool Network), ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry), ILRI (International Livestock Research Institute), IFRI (International Food Policy Research Institute), dan IWMI (International Water Management Institute), memiliki hubungan kuat dengan World Bank. ILC sendiri sejak awal pembentukannya di tahun 1995 merupakan proyek bentukan IFAD yang bekerja sama dengan World Bank dan FAO, meskipun sering kali dikatakan bahwa ILC—ketika masih bernama Popular Coalition to Eradicate Hunger and Poverty—lahir dari semacam kesepakatan peserta Konferensi tentang Kelaparan dan Kemiskinan di Belgia tahun 1995.
ICRAF, ILRI, IFRI, dan IWMI adalah lembaga-lembaga riset yang berada dalam naungan CGIAR (Consultative Group on International Agricultural Research). World Bank adalah salah satu lembaga yang memberi dana cukup besar untuk CGIAR. Pada tahun 2015, misalnya, Bank Dunia merupakan pemberi dana nomor dua terbesar di luar negara-negara anggota CGIAR, yang berkepentingan dengan industri pertanian (seperti AS, Inggris, Belanda dan Australia).
Koordinat ILC dan GTLN (Global Land Tool Network) dalam peta organisasional bakal membuat siapapun yang memahaminya bakal terbahak di penghujung. Tiga organisasi raksasa, yakni Millennium Challenge Corporation (MCC), UN-Habitat dan World Bank adalah penggagas dan pihak yang memberikan fasilitas bagi pembentukan GTLN.
Sejumlah badan PBB—seperti FAO, IFAD, UNEP, dan UNHabitat—serta lembaga keuangan seperti World Bank dan organisasi non-pemerintah (NGO) regional Asia seperti ANGOC, dan lembaga-lembaga profesi seperti asosiasi surveyor internasional kemudian menjadi anggota GLTN. Sebagian anggota GLTN adalah anggota ILC. Tetapi ILC sebagai satu lembaga juga menjadi anggota GLTN. Tolong beri kami berbelas shoot Tequila untuk memahami ini!
Kait kelindan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya kemudian membentuk satu simpul raksasa dengan kerangkengnya yang membelit sana-sini. Goliath perbankan dan mesin pemiskinan yang sebenarnya adalah mereka-mereka yang telah disebutkan sebelumnya. Sekalipun beberapa di antaranya berkilah bahwa mereka adalah organisasi otonom (sungguh epitel yang durhaka untuk menyebut mereka otonom) yang dibentuk tanpa sokongan grup lembaga keuangan raksasa, namun sumber riwayat telah bertebaran di jagad maya bahwa ternyata Goliath perbankan tetaplah Goliath perbankan.
Turnstile - Come Back for More / H.O.Y
Nomor kelima dalam mixtape ini diisi oleh salah satu lagu dari komplotan hardcore yang tengah menjadi perbincangan panas. Berangkat dengan misil auditif yang mengawinkan hardcore dengan bebunyian RnB, free-jazz, bahkan riff-riff janggal, Turnstile menjadi anomali pasca lahirnya album Time & Space (Roadrunner Records, 2018). Di lagu mereka pada mixtape ini, Turnstile berhasil mendeflagrasi kemuakan pada titik didih yang paling mentok. Entah anasir apa yang sebenarnya hadir dalam selubung liriknya. Namun nomor ini kami kira layak dijadikan genderang pengusir para Goliath perbankan dan mafia-mafia lembaga keuangan global lainnya.
Apa yang bisa diharapkan dari kenduri para elit yang dengan serampangan menjual dalil demi kemaslahatan rakyat? GLF 2018 di Bandung tidak akan menghasilkan dorongan pada pelaksanaan Reforma Agraria untuk keadilan dan kesejahteraan sosial bersama. GLF 2018 justru akan dijadikan pembenaran bagi keberlangsungan upaya mengubah kebijakan-kebijakan pertanahan di Indonesia agar benar-benar selaras dengan kebijakan pertanahan global yang pro pasar, investasi, dan membuka jalan lapang bagi korporasi untuk menguasai tanah dalam skala besar.
Sesi-sesi diskusi dan rumusan-rumusan sejumlah pelaksanaan GLF sebelumnya tidak menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil—apalagi dalam kebijakan agraria di Indonesia. Meskipun dalam GLF 2018 termaktub diskusi bertema anti-penggusuran, penguatan hak rakyat atas tanah, Reforma Agraria sejati dan kawanannya, maka itu hanya akan menjadi hal trivial sebuah pertemuan internasional yang tidak akan diserap intisarinya oleh para pembentukan kebijakan pertanahan global maupun nasional saat ini. Kenduri semacam GLF hanya akan menjadi ajang kooptasi dan pembenaran bagi rumusan-rumusan kebijakan pertanahan yang sudah mereka susun semula.
Belum lagi soal Annual Meetings IMF dan World Bank. Membaca pertemuan itu dalam kerangka kapitalisme di era neoliberalisme kiwari, maka sudah barang tentu bahwa pertemuan itu secara prinsipil adalah hendak memastikan bagaimana para korporasi dapat beroperasi tanpa hambatan serta terus mencari solusi untuk meningkatkan kapasitas kekebalan dalam menghadapi krisis. Dari titik pijak ini, maka nomor jawara milik Turnstile sudah jelas pantas menggelandang mereka semua untuk angkat kaki dari sini. Tak ada yang bisa diharapkan dari kebijakan final pertemuan-pertemuan itu. Semustahil para hardcore purist yang berharap Turnstile tak melampaui para tetua skenanya.
Story of the Year - Wake Up the Voiceless
Negara kian menjadi gergasi sekaligus agen aktif dalam akumulasi kapital. Di tengah persaingan antara rezim yang tengah memperebutkan posisi hegemonik dalam panggung ekonomi dan politik global, sudah saatnya sentra produksi elan pembangkangan mesti dibangun di banyak titik. Tentu saja upaya itu ditempuh lewat medium pengorganisiran apapun. Perlawanan akan upaya pemiskinan mesti terus diamplifikasi ke banyak lini meski berkalang represi. Lantaran segenap daya dan upaya itulah, kita setidaknya mampu menjagai mimpi-mimpi kita tentang hari esok dan 'tentang-tentang' yang lainnya. Kita bakal kembali mengupak api dalam sekam, berulang kali. Dan “Wake Up the Voiceless” dari Story of the Year di album In the Wake of Determination (Maverick Records, 2005) jadi nomor berbagi api.
Counterparts - The Sanctuary
Tidak perlu deskripsi berlarat-larat untuk menjelaskan anasir perjuangan akan sebuah ruang hidup yang termaktub dalam chorus salah satu lagu milik Counterparts, yang diambil di album Prophets (Verona Records, 2010) ini: “our sanctuary / our stomping ground / our territory / our fucking home!”
Comments