top of page

METARUANG MIXTAPE

Metaruang Mixtape merupakan wadah berbagi musik dan zine yang diproduksi oleh kawan-kawan di titik api. Di situs ini, secara spesifik Metaruang sebagai media agit-prop berusaha mengamplifikasi kembali nilai-nilai perlawanan dan pembangkangan yang terkandung dalam musik dan literasi (zine).

Home: Bio
Home: Blog2
Search
Writer's pictureMetaruang

Against Aeropolis

Updated: Oct 2, 2018

PERSETAN dengan diktum Jokowi yang menyeret setangkup testamen leluhur sebagai legitimasi untuk merestui pembangunan mega-proyek NYIA. Dengan pembacaan maupun dalih eksegesis macam apapun, bukan menjadi alasan untuk mencerabut warga Kulon Progo dari sumber kehidupannya. Tidak ada yang mesti disangsikan lagi bahwasanya bandara NYIA serta wacana Kulon Progo sebagai aeropolis kelak, adalah upaya rezim untuk memperbesar ketimpangan serta kesenjangan sosial-ekonomi.

Dalam upaya menggusur setiap jengkal lahan serta bangunan warga, PT Angkasa Pura I berkoalisi dengan aparatus represif negara sebagai perisai kepentingannya. Tak hanya itu, dalam mengonstruksi opini publik tentang restu menggarap bandara NYIA, mereka didukung oleh segala dalil busuk dari pemerintah pusat dan daerah tentang manfaat adanya bandara—baik diiming-imingi banjir lowongan pekerjaan, maupun segudang sarana dan fasilitas yang konon dijanjikan bakal menunjang laju ekonomi warga. Belum lagi para intelektual borjuis yang menyuplai analisis omong kosong ihwal AMDAL, dan tidak luput pula menelisik ihwal bagaimana para buzzer media sosial Angkasa Pura I yang begitu abrasif memproduksi cuitan-cuitannya sebagai dukungan keberlangsungan pembangunan bandara NYIA.


Tak hanya lewat corong-corong itu saja Angkasa Pura I menjangkarkan proyek bandara NYIA. Belakangan, Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta pun turut andil dalam meringkus lebih banyak legitimator lewat jalur seni dan kebudayaan. Salah satu jalan yang ditempuh via wacana itu adalah saat berlangsungnya Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke-30 yang diadakan pada 23 Juli - 9 Agustus 2018 di Planet Pyramid, Jl. Parangtritis Km 5.5, Bangunharjo, Bantul, Yogyakarta. Dalam helatan seni itu, tema yang diusung adalah “Mesemeleh”. Konon, panitia FKY mengambil tema itu sebagai wujud adaptasi terhadap perubahan jaman, untuk mulai melihat masyarakat tidak hanya sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek yang ikut membangun wacana seni.


Perlu digaris-bawahi pula bahwa “Mesemeleh” yang mereka usung berangkat dari kata ‘mesem’ dan ‘semeleh’’ yang berarti senyum dan nrima. Mereka berkilah bahwa maksud dari tema yang diusung itu adalah sebagai wujud dari FKY yang berupaya untuk tetap tersenyum dan nrima dengan perubahan jaman, serta mampu beradaptasi dengannya. Dari pernyataan yang mereka publikasi di laman infofky.com itu, entah apa yang sedang menjadi bahan banyolan mereka. Rezim yang diwakili Pemda DIY memang piawai untuk memoles atau bahkan mempercantik kondisi sosial-politik mereka manakala di Kulon Progo justru tengah berkecamuk konflik perampasan lahan. Pemda DIY cermat menggiring banyak seniman lintas disiplin untuk pada akhirnya masuk ke bilik abatoar artistik besutan mereka. Pada akhirnya mereka pun memenggal rasa kemanusiaan dan elan keberpihakan para seniman itu dengan sejurus kooptasi serta pembungkamannya.


Kendati rezim dan para komplotan developmentariatnya terus melesapkan narasi hegemonik ihwal NYIA di sektor seni dan kebudayaan, jangan lupa pula bahwa warga Temon, Palihan, serta Glagah, pernah menghelat festival seni langsung dari titik api. Festival Guyub Murup adalah bukti nyata otonomi warga sebagai bentuk aktivasi ruang yang juga menjadi medan pengorganisiran yang cukup efektif. Belum lagi panggung-panggung solidaritas yang bermunculan di titik-titik lain sebagai dukungan serta pos penggalangan dana bagi warga Kulon Progo yang digusur. Hal itu membuktikan bahwa lewat kerja-kerja kultural yang ditopang semangat pertemanan dan juga solidaritas akan sesama, yang juga ditindas oleh rezim yang sama, mampu menyulut lebih banyak suar perlawanan.


Atas dasar itu pula, kami sepakat menyusun sebuah mixtape bertajuk “Against Aeropolis” sebagai bentuk solidaritas bagi warga Temon, Kulon Progo, yang masih bertahan. Tak hanya itu, mixtape ini pun kami susun sebagai upaya untuk mengamplifikasi elan perlawanan yang lebih masif lagi lewat medium musik. Kami memang sangsi bahwa musik bisa mengubah dunia, namun kami percaya bahwa lewat musik, sebuah kebenaran bisa terus diperjuangkan lewat narasi yang digandengnya. Dalam mixtape ini, kami menaruh 7 nomor yang kiranya bisa mewakili setiap poin perjuangan warga untuk tetap kukuh menolak pembangunan NYIA. Ada beberapa nomor yang sebelumnya kami eliminir karena alasan pemadatan durasi. Dan 7 lagu di mixtape inilah yang kiranya bisa merangkum semua aspek perlawanan menolak NYIA. Di depan, hari-hari menjelaga mungkin bakal kita temui kembali. Namun tak usah khawatir, kita bakal kembali menempa godam dan terus menagih jemari yang menjanjikan kepalan.







1. Their Helicopters’ Sing - Godspeed You! Black Emperor


Perjuangan gigih warga Temon, Kulon Progo, dalam menghadang pembangunan bandara NYIA, bisa kita kaitkan dengan komune Zona d'aménagement différé/à défendre (ZAD) yang juga dengan segenap daya dan upayanya terus menolak pembangunan mega-proyek aeropolis Notre-Dame-des-Landes di Perancis. Semenjak tahun 2008, ZAD menduduki Notre-Dame-des-Landes sebagai respon atas keputusan pemerintah Perancis yang hendak membangun bandara di atas lahan seluas ±1.650 hektare itu. Mulai dari membuat barikade kokoh saat adanya aparat gabungan yang dikerahkan pemerintah Perancis untuk mengusir mereka, memblokade jalan akses bagi orang-orang yang disinyalir penyusup suruhan pemerintah, hingga puncaknya mengobrak-abrik semua penghalang jalan yang dipancangkan oleh aparat, yang kemudian membuat eskalasi konflik semakin berkobar.


La zad of Notre-Dame-des-Landes sendiri terletak di zona otonom hamparan sebelah barat Perancis. Dan mega-proyek bandara Notre-Dame-des-Landes sebetulnya telah diinisiasi semenjak tahun 1969. Notre-Dame-des-Landes diprediksi bakal menjadi bandara yang menghubungkan lalu lintas penerbangan trans-atlantik menuju Perancis serta wilayah lainnya di Eropa. Sedari Emmanuel Macron terpilih, beragam upaya mediasi telah diupayakan untuk mencari jalan tengah antara pemerintah serta massa yang menolak pembangunan bandara itu. Namun hingga Desember 2017, para pentolan ZAD yang telah mengokupasi Notre-Dame-des-Landis urung mundur dari perjuangan mereka. Puncaknya, pada Januari 2018, pemerintah Perancis membatalkan rencana pembangunan bandara itu dikarenakan semakin masifnya penolakan serta konfrontasi terhadap mereka.


Nomor pertama dalam mixtape ini datang dari Godspeed You! Black Emperor (GY!BE), yang menggambarkan kesetiaan warga Temon, Glagah, dan Palihan serta ZAD di garis perjuanga. Lagu dengan komposisi drones sedari menit awal hingga akhir ini berjudul “Their Helicopters Sing”, yang diambil dari album keempat mereka Allelujah! Don't Bend! Ascend! (Oktober 2012, Constellation Records). Album itu sendiri adalah karya GY!BE yang dihasilkan setelah bangun dari hiatusnya selama 10 tahun pasca merilis Yanqui U.X.O. (2002, Constellation Records) yang diproduseri oleh Steve Albini.


Album keempat itu mengantarkan mereka merengkuh penghargaan Polaris Music Prize pada tahun 2013. Komposisi musik yang mutakhir dan juga selaksa narasi yang ditopang di belikat band, menjadi alasan mereka menyabet penghargaan itu. Namun penghargaan kontroversial itu justru dimentahkan oleh semua personil. Bagi GY!BE, gala penghargaan musik itu hanya jadi dagelan ketika para kuratornya menyisihkan musisi-musisi Kanada lain yang justru luput diapresiasi. Dan poin utamanya adalah GY!BE menolak sokongan dana serta keterlibatan Toyota Motor sebagai korporasi otomotif multinasional dalam gala penghargaan musik itu. Jikalaupun GY!BE menerima penghargaan itu, dalam statement penolakannya yang dipublikasi di laman milik Constellation Records, mereka akan mengalokasikan sejumlah uang itu untuk menyokong para tahanan politik di sejumlah penjara Quebec agar bisa menginisiasi proyek musik.


Nomor instrumental ini menyukat gemuruh drones dengan sayatan tipis violin di beberapa babakan. Terlepas dari asumsi bahwa nomor ini menubuatkan mega-proyek aeropolis yang tengah digagas di banyak negara karena nomina pada judul lagu lekat asosiasinya dengan bandara, “Their Helicopters Sings” justru menyaru sebagai sebuah tembang yang mengkonfrontir langsung rezim dengan berbekal duka dan serapah kitukan warga yang dirampas ruang hidupnya. Lagu ini mungkin bisa menjadi karib warga ketika waras tengah terjaga di malam-malam penuh ancaman, sembari tetap waspada bahwa operator buldoser, preman, dan aparat, bisa saja tiba-tiba menyatroni rumah mereka. Desing gemuruh mesin pesawat dan lalu lintas bandara mungkin bisa saja menjadi ‘kebisingan baru’ kelak. Namun semua itu mampu dicegah dengan kesetiaan di medan juang, segenap daya serta upaya, seumpama elan perjuangan ZAD yang kemudian teramplifikasi pula pada warga Kulon Progo yang masih bertahan.



2. Motown Junk - Manic Street Preachers


Sebelum merilis Generation Terrorists, Manic Street Preachers yang masih berformasikan lengkap dengan Richey Edwards, merilis single yang berjudul “Motown Junk” pada 21 Januari 1991 lewat label rekaman Heavenly. Nomor ini sendiri ada dalam satu paket single bersama dua nomor lain yang berjudul “Sorrow 16” dan “We Her Majesty's Prisoners”. Markah awal karir musik Manic Street Preachers sebelum menerabas ranah pop memang ditandai dengan lahirnya “Suicide Alley” pada 1998, namun pandangan publik Wales yang melihat mereka sebagai band yang menyandang narasi progresif, baru mencuat ketika “Motown Junk” dirilis. Bukan tanpa sebab, nomor ini dilansir dengan menyeret lirik menohok, dalam komposisi musik yang sangat punk rock dengan menaruh sample Public Enemy dan The Skids di awal serta akhir lagu. Poin itu menyemburat saat memasuki baris lirik “I laughed when Lennon got shot.”

Pada sampul single ini, terlihat potret sebuah jam yang konon menunjukkan titi-mangsa peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada pukul 8:15 pagi, 6 Agustus 1945. Namun dalam kilas anotasinya, lagu ini justru ditafsirkan sebagai upaya para personil memenggal berhala-berhala musik yang dikultuskan manakala era “Motown Junk” dirilis. Hal itu bisa kita telisik dari puzzle-puzzle yang tercecer dalam liriknya mulai dari kata “Motown” itu sendiri sampai “168 seconds”. Motown dalam lirik itu merujuk pada label rekaman Amerika yang menjadi mercusuar musik-musik pop formulaik dalam rentang waktu 1960-1970an. Bagi Bradfield, musik-musik yang berasal dari Motown adalah sahabat manakala dirinya masih remaja tanggung. Namun seiring masa tumbuh dewasa dengan perkembangan aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dicecap Bradfield, dia menganggap bahwa musik-musik dari rahim Motown terus menjadi hegemoni yang hanya mengukuhkan status quo para musisinya.


Sebab itulah, Manics menaruh tiga baris lirik yang menghantam pada babakan chorus: “Motown junk a lifetime of slavery / songs of love echo underclass betrayal / stops your heart beating for 168 seconds”. Keterangan numeralia dalam penggalan lirik itu, merujuk pada durasi sepanjang 2 menit 48 detik yang kerap dipakai stasiun radio Motown sebagai standar waktu ideal panjang sebuah lagu yang bakal mereka putar. Dari hal-hal itulah kemudian Manics berusaha membongkar konvensi estetika musik pop kala itu via lagu “Motown Junk”. Nomor ini pun persis kiranya menjadi lagu yang mewakili hikayat seniman-seniman (wabil khusus musisi) yang mulanya menyuarakan ketertindasan warga Kulon Progo atas penggusuran terdampak NYIA, namun pada akhirnya merapat pada kantung kebudayaan rezim, lengkap dengan dalih change within khas elit politik yang mendaku dari partai pro-rakyat.


Sebelum merilis “Motown Junk”, dalam beberapa gigs Manics kerap membawakan ulang lagu “Baby Love” milik Motown, serta hits 80an semisal “Jump” dari Van Halen, serta “She Sells Sanctuary” milik The Cult secara parsial. Kesemua nomor itu dengan cerkasnya menceritakan para seniman yang melacurkan diri pada korporasi maupun goliath industri label rekaman, serta rela tercebur dalam kubangan kapital. Verse pertama “Motown Junk” mengguar manuver-manuver degil seniman model itu: “never ever wanted to be with you / the only thing you gave me was the boredom I suffocate in / adrift in cheap dreams don't stop the rain / numbed out in piss towns just want to dig their graves.” Dan di verse terakhirlah, Manics semakin memuntahkan kemuakannya—di samping itu verse ini pun layak dijadikan naskah advertorial iklan alat kontrasepsi bagi seniman yang dimaksud, supaya tidak merasa pedih-perih eksistensial kala disodomi rezim tanpa pelumas: “I don't want cause I just get / all your slut heroes offer is a fear of the future / past made useless cause I'm dying now / communal tyranny a jail that bleeds our wrists.”



3. When Rhetoric Dies - Boysetsfire


Yang juga menjengkelkan dari kisruh agraria di Kulon Progo (dan lusinan titik api lainnya) adalah hadirnya para makelar konflik. Dari mulai NGO abal-abal, sekte pecandu eksposur, akademia pengemis data dan penjual data, so called publik figur, serta tak sedikit indvidu yang hanya ingin bergerak sejauh mendapat untung bagi proposal-proposal politiknya kelak.


Tak benar-benar berpijak, malah angkat kaki di momen ketika tenaga dan aksi nyata sedang benar-benar dibutuhkan warga. Mereka lantas hilang ditelan bumi saat data yang profitable didapatnya. Bahkan lebih parah turut bermain kotor dengan mendagangkan informasi ke instansi pemerintah, untuk kemudian para pakar omong kosong mengolahnya menjadi wacana pembenaran dari apa yang tengah mereka lakukan: pemiskinan dan pembodohan bergenerasi.


When Rhetoric Dies dari Boy Sets Fire hadir buat menampar elemen semacam demikian. Mereka hanya berkutat di tatanan wacana tanpa mau beranjak dari kursi malasnya untuk merubah gagasan menjadi sikap yang nyata; merubah wacana menjadi suatu gerakan. Baris pertama lirik nomor ini dipersembahkan untuk para pecandu talk shit, yang hanya berani berargumen namun susut nyalinya, bahkan hanya untuk sekedar melangitkan kepalan mereka.



4. Fight the Power - Public Enemy


Jika ada yang masih percaya semua jargon atau slogan pemerintah yang “katanya” ingin mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial, saat yang tepat untuk mendengarkan “Fight the Power” milik Public Enemy dengan kenop volume mentok. Dalam perkara ini, bukan bermaksud membahas ihwal bagaimana implikasi luar biasa dari nomor Public Enemy itu yang kemudian menjadi motor pemicu kerja-kerja artistik, visi politik sebuah band, bahkan menjadi slogan ikonik sebuah gerakan perlawanan. Lebih dari itu, “Fight the Power” adalah katalis auditif yang juga layak dijadikan mars pembangkangan melawan rezim, yang berselempang aparatus yang setia membekingi.


Tak butuh deskripsi berlarat-larat lagi untuk menjelaskan urgensi menaruh “Fight the Power” dalam mixtape ini. Namun jika masih ada pertanyaan yang dilayangkan perihal nomor ini, tanyakan saja pada para pentolan Black Panther Party, massa aksi yang memprotes pemblokiran stasiun radio B92 di Belgrade, atau pada The Dillinger Escape Plan, ihwal mengapa mereka menyematkan “Fight the Power” sebagai entitas perjuangan mereka. Sekilas terbayang bahwa nomor ini adalah alarm bangun pagi Sultan. Terbangun kaget karena teringat bahwa warga Kulon Progo tak henti mengupak api dalam sekam perlawanannya.



5. Calm Like a Bomb - Rage Against the Machine


Semakin hari, deretan warga sipil, aktivis, awak media, maupun pejuang lingkungan yang dikriminalisasi kian bertambah. Manakala mereka yang dikriminalisasi ini justru tengah berusaha memperjuangkan kebenaran, negara lewat pion-pion yudikatifnya justru dengan sewenang-wenang menjebloskan mereka semua ke dalam bilik lokap. Terhitung mulai dari 7 rekan penolak PT. RUM di Sukoharjo; 4 rekan pejuang tahanan Waduk Sepat Surabaya; 1 orang petani Dusun Sambungrejo, Desa Bayu, Kecamatan Senggon, Banyuwangi yang dianggap melakukan perkebunan tanpa ijin di dalam hutan; 3 orang warga Gunung Talang yang ditahan karena dikriminalisasi oleh PT. Hitay Daya Energi; 4 orang petani Mekarsari yang dikriminalisasi oleh PLTU Indramayu; serta 2 orang petani Petani Surokonto Wetan yang dikriminalisasi oleh Perhutani Kendal karena dituduh menyerobot lahan, menjadi korban kriminalisasi dalam pusaran konflik agraria dan kejahatan korporasi.


Manakala eskalasi konflik memuncak saat warga dalam upayanya menghadang aparat gabungan, 15 warga ditangkap. Kendati mereka semua dibebaskan kembali pada pukul 10 malam, apa yang diperlihatkan oleh kepolisian Kulon Progo adalah bentuk tindakan represif yang secara kentara dilakukan oleh aparat negara. Di sinilah nomor Calm Like a Bomb milik Rage Against the Machine menemui celah berdentamnya. Salah satu lagu yang diambil dari album The Battle of Los Angeles ini, berangkat dari kisah Tom Morello dengan eksperimentasi whammy pedalnya. Kemudian eksperimentasi itu dinamai dengan pterodactyl sounds, dengan menyeret sederet referensi lirikal mulai dari semangat juang Emilio Zapata sampai sarat akan pesan pembebasan para tahanan politik, yang salah satu yang paling mereka suarakan adalah Mumia Abu-Jamal.


Di lagu ini, Zack memuntahkan rimanya seperti tengah kesambat Dostoyevsky pada malam-malam paling lebam ketika menuliskan kisah Raskolnikov di penjara Serbia. Dengan menyuling tenaga kuatren, Zack membuka lagu ini dengan verse yang telak: “I be walkin' god like a dog, my narrative, fearless / my word war returns to burn like Baldwin home from Paris / like Steel from a furnace, I was born landless / this is the native son, born of Zapata's guns.” Dan babakan verse akhir lagu ini seolah menggelontorkan sekilang harapan untuk mereka para kombatan yang hingga hari ini mendekam di bilik lokap, tak terkecuali semua rekan juang dalam pusaran konflik agraria dan kejahatan korporasi, bahwa suara mereka tak akan pernah bisa dibungkam: “there's a mass without roofs, there's a prison to fill / there's a country's soul that reads post no bills / there's a strike and a line of cops outside of the mill / 'cause there's a right to obey and there's the right to kill.”



6. Things It Would Have Been Helpful to Know Before the Revolution - Father John Misty


Kiat-kiat sederhana ini diperuntukkan buat kelas menengah, guna menyiapkan momen bertajuk revolusi. Ada ragam hal yang mesti dikorbankan selain belaka dikobarkan. Pertama-tama, yakni surplus waktu luang mereka. Kita tahu waktu luang kita amat berlimpah, dan kita konversi, bisanya, ke dalam bentuk ekspresi-ekspresi suka cita. Berlibur ke titik-titik instagramable, membuat mimik candid, mengkopas... maksud kami, menulis kata-kata inspiratif setelahnya. Bukankah dunia akan tampak lebih positif dengan kesederhanaan dan keunikan yang demikian?


Tapi kita sadar, dan revolusi tetap dibutuhkan. Membaca linimasa serta sederetan komentar netizen akan membakar semangat kita. Maka kita pun mengumpat, menolak Prabowo, dan menudukung Jokowi. Sebagian mencela Jokowi dan mencintai ketegasan, ketahanan nasional, sebagaimana dicontohkan Prabowo. Tapi toh kita lelah berdebat, maka kita pun menawarkan jalan revolusioner yang sunyi. Kita dapat melawan riuhnya dunia dengan diari senam yoga kita, dengan meme, dengan obsesi kita pada kesuksesan.


Lalu kita hijrah. Lalu kita menikah. Semakin tekun beribadah, semakin cerdik menghitung pahala. Ragam acara amal kita galakkan. Betapa tentramnya hati kita setelah beramal. Dan betapa rudinnya dunia ini bila tak kunjung berubah. Kita tak lagi perlu memikirkan teman-teman kita yang dibui hanya gara-gara menolak tambang dan pabrik racun. Siapa itu Wagirah? Yang kami kenal hanya kesalehan istri nabi, dan itu patut menjadi tauladan dan bekal amalan untuk adil dalam beribadah (bagi pria), dan untuk para istri agar mengerti dan mendukungnya. Kami tak perlu menceburkan diri ke medan perang yang sesungguhnya di Kulon Progo sana, atau di mana pun konflik agraria berlangsung. Kami sudah merasa tentram dan nyaman dengan menyantuni fakir miskin komplit dengan kalkulasi pahalanya.



7. Eye of the Quarrel - Converge


Kembali pada hikayat ZAD dengan semua aktivitas komunenya serta warga Kulon Progo yang masih bertahan. Apa yang telah dilakukan warga Temon, Palihan, dan Glagah, sudah demikian mulia menjaga sumber penghidupan yang bakal diwariskan untuk anak-cucu kelak. Mereka enggan menumbalkan mimpi-mimpi tentang hari ke depan pada cengkeraman kapitalisme ekstraktif—di mana mereka tetap bisa memetik beragam hasil tani dari lahan mereka sendiri. Mereka tahu bahwa beton dan baja ringan tak akan bisa membuat perut mereka kenyang. Mereka tak ingin kelak menjadi tenaga kerja cadangan di pedesaan. Apalagi kalau mesti sampai jadi tenaga kerja aktif atau buruh upahan modern di kawasan industri perkotaan. Dengan adanya agenda pembangunan NYIA saja, mereka mungkin dibayang-bayangi pada pilihan menjadi pekerja di sektor informal, menjadi pekerja antar bangsa di sektor domestik non-produktif, atau bahkan pembantu rumah tangga. Maka dari itu, dengan tetap bertani, warga Kulon Progo sejatinya sudah sejahtera tanpa perlu hadirnya bandara NYIA.


Nomor penutup dalam mixtape ini menggambarkan secara bernas bagaimana pentingnya sebuah otonomi dalam mempertahankan kelangsungan hidup. Lagu ini datang dari veteran mathcore, Converge, dengan judul “Eye of the Quarrel” yang diambil dari album The Dusk in Us. Empat larik awal bait pertama lirik, secara eksplisit mengungkapkan kemandirian dalam sebuah produksi: “eye of the quarrel open wide as the wound / I still reach for the sun in spite of all of you / I'm my own man built by my own hands / Despite all the flaws which remind me of you”. Ia seolah menjadi pengingat para petani Kulon Progo bahwa tak ada hal yang paling membahagiakan tinimbang bisa hidup dari apa yang mereka produksi tanpa campur tangan pemerintah hingga retailer-retailer raksasa terhadap hasil tani mereka. Verse penutup lagu ini mengukuhkan apa yang tengah diperjuangkan petani Kulon Progo dan menjadi alasan paling mendasar pula mengapa mereka tetap bertahan: “queen of the garbage, prince of the weeds / my legacy won't inherit disease from me.”


___


Unduh digital sleeve mixtape di sini.


___




292 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page